Purnama di Hati Aruna
sumber foto: id. pinterest.com |
Suara adzan subuh itu sayup
sayup terdengar dari masjid, bintang bintang masih bertaburan di langit
menampakkan pesona keindahanya benda- benda langit pun seakan sedang bercakap
menyambut datangnya sang surya. Aku perlahan terbangun dari tidurku dengan mata
yang belum sempurna terbuka, aku berjalan untuk mengambil wudhu untuk
melaksanakan kewajibanku.
“ Ayo cepat sholat subuh Aruna! “ perintah Ibu kepadaku
“ Ya Bu, ini sudah ambil wudhu “
Ya, namaku adalah Aruna gadis mungil yang
terlahir dari keluarga yang sederhana kini aku masih duduk dibangku SMA . Aku
adalah anak kedua dari dua bersaudara. Kakaku bernama Farzan aku biasa
memanggilnya Mas Arzan. usia kami tidak
terpaut jauh namun ikatan persaudaraan kami tak semanis hubungam antara kakak
dan adik orang lain.
Dulu keluarga kami sangat bahagia namun
semuanya berubah karena Bapak ditipu oleh rekan bisnisnya. aku memang terlahir
dari keluarga yang sederhana namun kerena kerja keras Bapak keluarga kami bisa
hidup lebih dari cukup, tapi sayangnya itu tak bertahan lama. Kondisi finansial
keluarga kami yang sudah stabil justru menjadi berantakan karena hal ini. Rumah
kami yang sudah lebih dari nyaman harus kami jual dan pindah ke rumah yang
lebih sederhana. Mas Arzan juga mulai menunjukkan perubahan sikap yang membuat
masalah pada keluarga kami tiada henti.
Maz Arzan kecil yang aku kenal dulu
adalah orang yang sangat humoris, selalu menjaga adiknya bagaimanapun
kondisinya, namun semua sikap ini seakan sirna ketika dia memasuki usia 12
tahun. Saat ini dia hanyalah seorang yang menjadi sumber masalah dalam hidupku.
Sudah beberapa ikhtiar dijalani Bapak dan Ibu untuk memperbaiki sifat dan
perilaku Mas Arzan karena mereka selalu mengusahakan yang terbaik untuk anaknya
walaupun kondisi finansialnya sedang tidak baik , namun hasilnya masih nihil
hingga saat ini.
Berdasarkan hasil pemeriksaan psikiater
yang pernah menangani Mas Arzan, mendiagnosa bahwa ada gangguan yang dialaminya
yaitu kleptomania, semacam gangguan yang
membuat penderita tidak dapat mengendalikan dirinya untuk mencuri, bahkan
mencuri hal – hal yang sama sekali tidak dia butuhkan. Gangguan ini juga dapat
menyebabkan penderitanya susah untuk mengendalikan emosi dan perilaku.
Memang benar diagnosa psikiater itu, Kakaku memang sering sekali mencuri. Bahkan dia dikeluarkan dari sekolah karena
beberapa kali melakukan kesalahan yang sama yaitu mencuri. Berada di sekolah
yang berbeda pun Mas Arzan tetap megulangi kesalahan yang sama hingga orang
tuaku putus asa dan membiarkanya tidak lagi mengenyam bangku pendidikan.
Akibat ulah Mas Arzan aku dan orang tuaku
menjadui korban dari apa yang dia lakukan, Ibu sering dimintai ganti rugi atas
benda- benda yang sudah dicuri. Aku juga sering dicemooh teman- temanku karena
memiliki kakak seorang pencuri. Keluargaku sering menjadi buah bibir para
tetangga karena ulah kakak ku, hingga Ibu lebih senang menarik dirinya dari
kehidupan sosial.
“ Ibu kenapa kok melamun” tanyaku pada Ibu di ruang tamu.
“ Ibu nggak papa kok Run"
“ Pasti ibu lagi mikirin
ulah Mas Arzan kan” jawabku dengan nada yang lebih tinggi
“ Ibu mana yang tidak
memikirkan anaknya Run, setiap Ibu pasti akan memikirkan anaknya bagaimanapun
kondisinya”
“ kenapa Ibu tetap menyayangi Mas Arzan dia itu sumber masalah di
keluarga ini Bu, aku sudah bosan melihat Ibu dan Bapak sedih karena ulahya,
aku sedih menjadi bahan cemoohan teman- temanku karena memiliki Kakak seorang
pencuri dan aku juga sudah bosan mendengar tetangga ngomongin keluarga kita Bu!
Masalah akan selesai kalau Mas Arzan pergi dari rumah ini. “ ucapku dengan mata
ber kaca- kaca.
“ kamu harus sabar Run
sabar itu seperti purnama yang membuat setiap mata takjub padanya, purnama itu
harus ada di hati kamu. Ibu tidak akan membiarkan Kakakmu pergi dari sini, Ibu
sangat mencintainya bahkan sebelum dia ada di dunia ini dan begitu juga cinta Ibu kepadamu. Seorang Ibu akan selalu memiliki rasa cinta yang dalam pada
anaknya tanpa syarat” kata Ibu kepadaku.
Mendengar semua penjelasan Ibu tadi aku
bergegas pergi dari hadapan Ibu, aku malu karena sikapku , aku merasa berdosa
karena menginginkan Kakak ku sendiri pergi dari rumah ini, aku terlalu egois
dan mementingkan diriku sendiri padahal Kakak ku juga tak pernah mau memiliki
gangguian mental ini. ketika aku berusaha untuk memaaafkan Kakak ku, dia malah
semakin giat untuk menciptakan masalah – masalah baru. Namun aku masih tetap
memegang nasihat ibu untuk bisa sabar dan menciptakan purnama itu di dalam hatiku.
Malam sudah berganti pagi, langit
diselimuti mendung pertanda hujan akan turun. Aku bersiap- siap untuk berangkat
ke sekolah menunggu bus mini lewat depan rumah. Di sekolah aku adalah pribadi yang suka
menyendiri aku lebih nyaman jika aku sendiri. Dulu aku pernah memiliki seorang
sahabat dia adalah satu-satunya orang yang aku percaya bisa menjaga rahasia
ketika aku bercerita tentang masalah- masalah yang terjadi dikeluargaku. Namun
dia tidak bisa menjaga kepercayaan yang telah aku berikan. Itulah yang membuat
aku lebih nyaman untuk sendiri, karena aku takut dikecewakan oleh orang-orang
yang sudah ku percayai.
Bel pulang sekolah sudah berdenting, aku
segera mengemasi barang- barangku untuk pulang. Sesampainya di rumah aku berencana
untuk pergi ke pantai yang tidak jauh dari rumahku. Cukup dengan berjalan
selama 10 menit aku sudah bisa menikmati keindahan pantai dengan membaca novel
kesukaanku.
“ Mau ke mana Run “ tanya Ibu kepadaku.
“ Ini Bu mau ke pantai
sebentar, sudah lama Runa nggak ke pantai boleh ya bu ?
“ Iya boleh, tapi
hati-hati jangan lama sudah sore.’’
“ Iya Bu cuma sebentar
saja kok lagian ini juga sudah sore, oh iya Bu Mas Arzan kemana ya kok dari
pagi nggak kelihatan ? “ tanya ku kepada Ibu dengan khawatir.
“ Ibu juga belum tahu
Run, Kakakmu pergi dari tadi pagi dan belum pulang juga sampai sore ini.”
“ Oh ya sudah kalau
begitu Bu, Runa jalan dulu ya” ucapku sambil mencium tangan Ibu.
Sesampainya di pantai aku duduk dengan
novel yang ada di pangkuan, lembar- demi lembar telah kubaca. Pantai adalah
tempat paling nyaman. Deburan ombaknya tak pernah mengingatkanku dengan
masalah- masalah yang ada dalam hidupku, angin yang bertiup lemah dan lembut
seakan menghampiriku untuk membawa pergi kesedihan yang ada dalam diriku.
Seketika aku teringat dengan nasihat Ibu
saat itu, bahwa aku harus sabar, aku harus bisa memaafkan perbuatan Mas Arzan
dan aku harus menciptakan purnama itu dalam hatiku. Ya mungkin ini waktu yang
tepat untuk menerima sikap Mas Arzan dan bersikap sabar atas apa yang telah dia
lakukan.
Tak terasa hari sudah semakin sore aku
pun berjalan pulang dengan novel yang masih ada dalam genggaman dengan hati
yang sudah memaafkan dan bersiap untuk selalu bersikap sabar. Sesampainya di
rumah aku melihat seisi rumah kosong
“ Kok rumah sepi sekali
pada ke mana ia kalau jam segini Bapak biasanya sudah pulang, tapi kok tidak
ada Ibu juga nggak tahu di mana “ ucapku dalam hati.
Aku kemudian mengambil
gawai yang ada di atas meja belajarku untuk menelpon Ibu, sudah berdering tapi
belum di jawab. Ku ulangi sekali lagi
dan kali ini berhasil di jawab.
“ Hallo, assalamulaikum Ibu di mana kok rumah sepi ? “ tanyaku dengan perasaan yang panik.
“ Waalaikumsalam Run, ini Ibu sedang di rumah sakit. Kakakmu babak belur dihakimi warga karena ketahuan mencuri motor dan nanti akan dimintai keterangan ke kantor polisi setelah mendapatkan perawatan. Kamu di rumah saja ya, Ibu sama Bapak mau ngurusin Kakakmu dulu’’ Jawab Ibu dengan suara menahan tangis..
“ Astaghfirullah Ibu dan Bapak yang sabar ya, Runa akan selalu berdoa untuk kebaikan Mas Arzan dari
rumah”
“ Iya Run, doain Kakakmu biar kasusnya cepet selesai ya! Jaga rumah baik- baik”
“ Iya Bu,
wassalamualaikum ”
“ Waalaikumsalam”
Setelah mendapatkan kabar ini,
kesedihan itu kembali lagi masalah seakan datang silih berganti tapi aku harus
tetap sabar. Dua jam kemudian Bapak dan Ibu pulang mereka membawa kabar bahwa kakak
memang terbukti bersalah dan harus menerima hukuman dalam jeruji besi. Ibu dan
Bapak sangat sedih mendengar kabar ini begitu pula denganku tetapi ini mungkin
sudah menjadi jalan terbaik yang harus diterima Mas Arzan.
Tak terasa sudah 4 bulan Mas Arzan
mendekam dalam penjara, sesekali aku dan Ibu mengunjunginya untuk sekadar
memastikan bahwa dia baik- baik saja. Mas Arzan memang belum bisa menjadi kakak
yang baik tapi denyar- denyar kerinduan itu selalu hadir dalam hatiku. Bagaimanapun
dia adalah Kakak ku, kami lahir di rahim yang sama, kami tumbuh di bawah asuhan
orang yang sama yaitu Bapak dan Ibu. Dan kini aku sudah bisa menciptakan
purnama itu dalam hatiku. terimakasih Bapak, terimakasih Ibu atas semua nasihat
yang selalu menjadi telaga untuk meyejukkan relung- relung hatiku. Terimakasih
juga untuk mas Arzan tanpa kehadiranmu aku tak akan pernah mengerti arti kesabaran yang sesungguhnya dan mungkin
purnama itu tak pernah hadir dalam hatiku.
# Tugas 2 Teks Narasi, 22
februari 2021
Komentar
Posting Komentar